Senin, 28 November 2011

Mendeskripsikan secara resume tentang Hukum Tanah


Mendeskripsikan secara resume tentang Hukum Tanah :
1.      Hukum Tanah Barat;
2.      Hukum Tanah Adat;
3.      Hukum Tanah Swapraja;
4.      Hukum Tanah Antar Golongan;
5.      Hukum Tanah Administrasi.

Penjelasan :
1.        Hukum Tanah Barat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber kepada Boergerlijk Wetboek (BW).
Dasar dari Hukum Tanah Barat yaitu: Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) Buku II (Benda), Buku III (Perjanjian) & S 1834 No.27 ( Overschrijvings Ordonnantie) à Over-schrijvings Ambtenaar (Pejabat Baliknama). Politik hukum pertanahan pada jaman Hindia-Belanda dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kepentingan Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.
Menurut Agrarische Wet pemerintah Hindia-Belanda bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa. Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda selama lebih dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek kehidupan, termaksud terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hak-hak Barat itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hak-hak atas tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia.
Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama, serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat. Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain, keadaan seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik agraria Pemerintah Hindia-Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing. Hal ini dapat terlihat dari komentar Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha perkebunan Eropa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Bahwa akan tetapi karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:
a.       Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir;
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara. Bahwa selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Penghapusan tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak.
b.      Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda;
Bahwa berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI. Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda/asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
c.       Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi;
Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya, dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia.
d.      Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara Belanda;
Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria. Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB).
Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia. Bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya.
Bahwa dalam pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
·           Prinsip Nasionalitas.
Dalam UUPA pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun 1968.
·           Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu.
Bahwa ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
·           Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi.
Bahwa sesuai pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA.
·           Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu.
Bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat.






2.     Hukum Tanah Adat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat.
Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Menurut Sumantri, konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu. Menurut Maria S.W. Sumarsdjono, masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perseorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu.
Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum tanah adat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti yang dijelaskan dalam undang-undang pokok agraria pasal 6. Hukum adat merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari UU pokok agraria tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Lalu bagaimana dengan hak ulayat menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga di atur dalam pasal 3 Undang-undang pokok agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”. Bahwa isi pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat.
Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf  pengakuan terhadap hak atas kepemilikan tanah  ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan perlindungan yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2.
Konsepsi hukum adat telah dirumuskan sebagai konsepsi yang bersifat komunalistik religius, yang artinya tanah adalah milik bersama suatu masyarakat yang mendiami tanah tersebut, kepemilikan bersama tersebut terjadi karena masyarakat hukum adat saling hidup bersama atau berkelompok dan memiliki hubungan hukum dengan tanah yang ditempati tersebut. Sifat komunalistik religius tersebut dapat dimungkinkannya suatu tanah dimiliki oleh perorangan, hal ini karena hukum tanah adat memiliki dua unsur, yaitu:
a.       Unsur kepunyaan;
b.     Unsur Tugas pengaturan dan kewenangan.
Unsur kepunyaan lebih bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat hukum publik, maksud dari unsur ini adalah bahwa kepala adat memiliki wewenang mengatur tanah adat karena telah didelegasikan dan diberikan kewenangan untuk menjalankan peranan mengatur. Dari unsur ini muncul hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat, hierarkinya adalah sebagai berikut:
a.     Hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan publik;
b.      Hak kepala adat dan para tetua adat, bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum publik semata;
c.       Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Hak Ulayat itu berlaku ke dalam dan ke luar. Hak ulayat berlaku ke dalam maksudnya para anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah masyarakat hukumnya. Tetapi untuk menjaga itu diusahakan jangan sampai terjadi bentrokan dengan anggota masyarakat lainnya, misalnya tanah yang akan dibuka itu juga akan dibuka oleh seorang anggota lain, maka sebelum membuka tanah ia harus memberitahukan hal itu kepada penguasa adatnya. Sedangkan hak ulayat berlaku ke luar artinya suatu hak ulayat bisa dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adatnya. Hak ulayat tetap diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disetai dua syarat, yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

3.        Hukum Tanah Swapraja.
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah swapraja dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah Yogyakarta yang sampai sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
DI Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
Tanah kas desa di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan dengan cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan secara optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No 19/1950 dan UU No 9/1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami perubahan dari sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial NKRI. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY adalah pada hukum pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan sebagainya. Alasannya adalah di DIY sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat. Hal itu dikarenakan tidak adanya istilah adat seperti hak magersari, nelosor, nginduh dan nggandok.
Di DIY pada awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah tanah Sultan, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang.
Dualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY mengatakan bahwa meskipun wilayah DIY termasuk sempit (sekitar 3.185,8 km2), namun akumulasi masalah mengenai pertanahan di DIY tergolong rumit dan unik. Hal itu tampak sekali ketika dirunut dari faktor sejarah berdirinya DIY. Dari seluruh luas wilayah DIY, 4.000 hektar di antaranya adalah Sultan Ground dan Paku Alam Ground, yang berupa tanah-tanah raja dan keluarga Keraton, situs, tanah yang digarap masyarakat atau magersari dan tanah kosong serta garapan kosong. Tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground adalah tanah yang bukan milik perseorangan atau desa. Kebanyakan digunakan untuk tempat tinggal dengan status magersari. Mereka tidak memiliki sertifikat, melainkan surat kekancingan yang dikeluarkan kraton. Tentu dengan konsekuensi siap pindah apabila tanah yang ditempati diminta kraton.
4.        Hukum Tanah Antar Golongan.
                            Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).

5.        Hukum Tanah Administrasi.

Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Menurut UUPA dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
a)         Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
b)        Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c)         Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.


Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
a)         Persyaratan obyek materiil, yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b)        Persyaratan obyek formal, yaitu UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional.
Landasan Hukum Agraria islah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
a.         Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya. “bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”.
b.         Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….”
Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.
Tujuan dari administrasi pertanahan yaitu:
·           Komponen yuridis memegang kendali utama dalam administrasi pertanahan untuk  mendapatkan kepastian hak atas tanah.
·           Komponen Regulator yang penting untuk dihubungkan dengan pembangunan dan pengunaan lahan.Hal ini termasuk pembangunan lahan dan ketatnya penggunaan pajak melalui mekanisme yang berlaku.
·           Komponen fiskal lebih mengutamakan pada pemberian pajak lahan yang menunjang perekonomian.Proses ini digunakan untuk mendukung naiknya nilai pengumpulan dan produksi,serta sebagai insentif untuk mendisrtibusikan lahan terhadap tujuan-tujuan khusus lainnya.
·           Manajemen informasi,untuk memberi berbagai kelengkapan data yang memuat tiga aspek diatas yaitu fiskal kadaster dalam nilai dan pajak,dan pembagian wilayah dari sistem informasi yang lain dalam perencanaan dan pematuhan peraturan yang berkaitan.
Manfaat dari administrasi pertanahan yaitu:
·           Memberikan jaminan atas kepastian hak,maksud semakin jelas penentuan hak milik seseorang akan mempermudah untuk orang tersebut mempertahankan haknya atas klaim dari orang lain.
·           Stabilitas sosial,catatan publik yang tepat akan melindungi dari   pengunjingan mengenai kepemilikan yang sah (bila nantinya ada yang menggugat),dan membantu menyelesaikan masalah-masalah lain dengan cepat sejak batasan dan kepemilikan tanah dibuat.
·           Kredit,catatan publik akan mengurangi ketidakpastian informasi melalui pemberian kewenagan pada kreditor untuk menentukan apakah peminjam potensial telah memiliki hak untuk pemindahan hak yang diminta menurut apa yang diminta sebagai jaminan peminjam.
·           Proses perbaikan lahan, pembaharuan jaminan atas kepastian hak pemilik akan menaikan kecenderungan seseorang untuk mencari keuntungan ketika akan berinvestasi pada bangunan,peralatan atau perbaikan infrastruktur termasuk pengukuran perlindungan lahan. Cara kredit yang sudah diperbaiki menyediakan sumber daya keuangan yang bisa mempengaruhi nilai lahan.
·           Produktivitas, faktor-faktor seperti nilai guna, perpindahan lahan, kepemilikan, pembanguan, hak atas tanah dan lain-lain dikombinasikan untuk meyakinkan bahwa lahan itu sedang berkembang menuju nilai dan manfaat yang terbaik, misalnya, pertanian komersil dilakukan oleh petani yang cerdik untuk mendapatkan keuntungan dan lahan lebih. Beda dengan petani biasa yang tidak bisa mengembangkan lahannya.
·            Likuiditas, ketika hak kepemilikan sudah dapat legalitas formal aset-aset tersebut bisa ditukar dengan cepat dalam skala besar dan pada harga yang rendah. Pada Negara-negara berkembang,mayoritas hak kepemilikan dalam stastus informal,oleh karena itu mereka tidak dapat memasuki tempat pasaran formal sebagai aset yang bisa dinegosiasikan.
Pada pelaksanaan administrasi pertanahan ada aspek yang penting untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah, yaitu pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah ini lebih jelasnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pedoman pendaftaran tanah. Pada pelaksanaan administrasi pertanahan ada aspek yang penting untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah, yaitu pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah ini lebih jelasnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pedoman pendaftaran tanah.
Kelima perangkat Hukum Tanah tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif  yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA


ü    Prof. Boedi Harsono, 2006, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.
ü    S. Gautama, 1973, Hukum agraria antar golongan, Bandung : Alumni, Bandung.
ü    Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Cet ke 11, Djambatan, Jakarta.
ü    Muchsin & Imam Koeswahyono, (Soimin,Editor), 2007, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, Cet I, Refika Aditama, Bandung.
Oloan Sitorus & HM Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria Indonesia Konsep Dasar & Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.

1 komentar:

  1. FYUH....akhirnya nemu juga nih wat tugasnya p.rizal..
    thanks infonya mz... sama2 dari FH UJ juga nie..

    BalasHapus