Mendeskripsikan
secara resume tentang Hukum Tanah :
1. Hukum
Tanah Barat;
2. Hukum
Tanah Adat;
3. Hukum
Tanah Swapraja;
4. Hukum
Tanah Antar Golongan;
5. Hukum
Tanah Administrasi.
Penjelasan
:
1.
Hukum Tanah Barat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum
Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber
kepada Boergerlijk Wetboek (BW).
Dasar dari Hukum Tanah Barat yaitu: Burgerlijk Wetboek (KUH
Perdata) Buku II (Benda), Buku III (Perjanjian) & S 1834 No.27 ( Overschrijvings
Ordonnantie) à Over-schrijvings Ambtenaar
(Pejabat Baliknama).
Politik
hukum pertanahan pada jaman Hindia-Belanda dengan asas Domein dan Agrarische
Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kepentingan Negara
tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan
penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan
perlindungan.
Menurut
Agrarische Wet pemerintah Hindia-Belanda bertindak sama kedudukannya dengan
orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada
umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku
penguasa. Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda selama lebih
dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek
kehidupan, termaksud terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat
atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hak-hak Barat
itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai
tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hak-hak atas tanah rakyat
dan raja-raja di Indonesia.
Hak-hak
Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan
lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut
Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama, serta yang diatur di luar
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa
dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak
ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak
adat. Hukum
tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang
dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum
Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain, keadaan
seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik agraria
Pemerintah Hindia-Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan untuk
pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing. Hal
ini dapat terlihat dari komentar Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa
dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas
tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha
perkebunan Eropa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan
tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan
mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Bahwa akan tetapi karena belum
adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah sehingga berdasarkan
ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap
berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera
mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi,
yaitu:
a. Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir;
Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan
peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku
mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah
Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan
tanahnya menjadi tanah Negara. Bahwa selain tanah-tanah partikelir (tanah
eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu
adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Penghapusan
tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada
para bekas pemegang hak.
b.
Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda;
Bahwa
berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada
di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan
bebas Negara RI. Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik
Belanda/asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah
kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak
atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
c.
Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi;
Berdasarkan
Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status
tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya. Dalam
Peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan
badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan
menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya,
dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia.
d.
Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga
Negara Belanda;
Untuk
Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU
No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam
aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda
yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan
Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya
peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria. Untuk
mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria
dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB).
Barangsiapa
yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara
Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada
Menteri Muda Agraria melalui panitia. Bahwa setelah berlakunya Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal
dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum
dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku
tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak
atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu
dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan
pelaksanaannya.
Bahwa dalam
pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
·
Prinsip Nasionalitas.
Dalam UUPA
pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk
mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun
1968.
·
Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu.
Bahwa
ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak
atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA,
yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat
yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
·
Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi.
Bahwa sesuai
pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun
dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk
kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur
oleh UUPA.
·
Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu.
Bahwa dengan
berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak
baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat.
2.
Hukum Tanah Adat.
Yaitu keseluruhan
dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku
terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh
Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum.
Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi
golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum
pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem
hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi
Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian
hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum
(masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat.
Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai
luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara
“kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan
pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Menurut Sumantri, konsepsi
hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah
Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Masyarakat hukum adat
adalah suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari
kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan
tertentu. Menurut Maria S.W. Sumarsdjono, masyarakat hukum adat merupakan suatu
kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan
perseorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan
tertentu.
Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum
tanah adat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin
kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak,
dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama,
menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono,
hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti
jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana
hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya
mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi
sosial”, seperti yang dijelaskan dalam undang-undang pokok agraria pasal 6.
Hukum adat merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum
pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari UU pokok agraria
tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat
di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Lalu bagaimana dengan hak ulayat
menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga di atur
dalam pasal 3 Undang-undang pokok agraria, yaitu: “dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan
hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi ”. Bahwa isi pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak
pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat.
Berbagai kebijakan yang diterbitkan
oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf pengakuan terhadap hak atas kepemilikan
tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan perlindungan
yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tanah ulayat dalam masyarakat
adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada
upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan
tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998
tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang
Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang
belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR.
Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang
mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu, sebenarnya telah ada
beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat,
antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui),
UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang
Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil
(KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan
Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional
Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2.
Konsepsi hukum
adat telah dirumuskan sebagai konsepsi yang bersifat komunalistik religius,
yang artinya tanah adalah milik bersama suatu masyarakat yang mendiami tanah
tersebut, kepemilikan bersama tersebut terjadi karena masyarakat hukum adat
saling hidup bersama atau berkelompok dan memiliki hubungan hukum dengan tanah
yang ditempati tersebut. Sifat komunalistik religius tersebut dapat
dimungkinkannya suatu tanah dimiliki oleh perorangan, hal ini karena hukum
tanah adat memiliki dua unsur, yaitu:
a. Unsur
kepunyaan;
b.
Unsur Tugas
pengaturan dan kewenangan.
Unsur kepunyaan
lebih bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh
perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat
hukum publik, maksud dari unsur ini adalah bahwa kepala adat memiliki wewenang
mengatur tanah adat karena telah didelegasikan dan diberikan kewenangan untuk
menjalankan peranan mengatur. Dari unsur ini muncul hierarki hak-hak penguasaan
atas tanah dalam hukum adat, hierarkinya adalah sebagai berikut:
a.
Hak ulayat
masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum
keperdataan dan publik;
b. Hak
kepala adat dan para tetua adat, bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum
publik semata;
c. Hak-hak
atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak
langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Hak Ulayat itu
berlaku ke dalam dan ke luar. Hak ulayat berlaku ke dalam maksudnya para
anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan untuk membuka dan
mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah masyarakat hukumnya.
Tetapi untuk menjaga itu diusahakan jangan sampai terjadi bentrokan dengan
anggota masyarakat lainnya, misalnya tanah yang akan dibuka itu juga akan
dibuka oleh seorang anggota lain, maka sebelum membuka tanah ia harus
memberitahukan hal itu kepada penguasa adatnya. Sedangkan hak ulayat berlaku ke
luar artinya suatu hak ulayat bisa dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang
yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang bermaksud
mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan
tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adatnya. Hak
ulayat tetap diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disetai dua syarat, yaitu
mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sepanjang
menurut kenyataannya masih ada.
3.
Hukum Tanah Swapraja.
Hukum Tanah
Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di
daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada
dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian
diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain
Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang
intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya
dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta
Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak
diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam
konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah
yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang
diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal,
dan sebagainya. Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah
swapraja dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW
saja. Sebagai contoh adalah daerah Yogyakarta yang sampai sekarang masih
dijumpai tanah-tanah swapraja.
DI Yogyakarta,
Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya
hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki,
sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah
diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah
Keraton itu sendiri.
Tanah kas desa
di DIY merupakan pemberian dari pihak Keraton Yogyakarta. Karenanya, berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan tanah kas desa dapat diselesaikan dengan
cara musyawarah sehingga pemanfaatan tanah tersebut dapat dilakukan secara
optimal. Sedangkan Tanah Keraton adalah tanah yang belum diberikan haknya
kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik Keraton
sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak
Keraton.
Berdasarkan UU
No 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan UU No 19/1950 dan UU No 9/1955
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY mengalami perubahan dari
sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam
teritorial NKRI. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada DIY
adalah pada hukum pertanahan. Aturan di DIY itu terlepas dari aturan pertanahan
yang ada seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan sebagainya. Alasannya adalah di DIY sudah ada
dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat.
Hal itu dikarenakan tidak adanya istilah adat seperti hak magersari, nelosor,
nginduh dan nggandok.
Di DIY pada
awalnya tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah negara di DIY adalah tanah
Sultan, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain itu,
ada tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultan Ground), dan tanah milik Puro Paku
Alam (Paku Alam Ground), yang sebagian saat ini digunakan oleh masyarakat untuk
bermukim atau berbudidaya dengan kekancing atau sertifikat hak pakai dari
Keraton dan Puro, tetapi bukan hak milik. Karena bersifat istimewa, pertanahan
DIY dengan demikian seharusnya juga tidak cukup diatur dengan UUPA, melainkan
harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Sri Sultan
Hamengku Buwono X mengatakan bahwa status tanah Sultan Ground dan Paku Alam
Ground adalah tanah ulayat (Tanah Adat) dan tidak dijamin oleh UUPA, sampai
sekarang status kepemilikannya dibuktikan surat yang dikeluarkan keraton, oleh
karena itu pemerintah pusat harus memperjelas kepastian hukum status tanah
milik keraton dan Paku Alam melalui sebuah Undang-Undang.
Dualisme
penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang
mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi
Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui
pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi
menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Sri Sultan HB X
sebagai Gubernur DIY mengatakan bahwa meskipun wilayah DIY termasuk sempit
(sekitar 3.185,8 km2), namun akumulasi masalah mengenai pertanahan di DIY
tergolong rumit dan unik. Hal itu tampak sekali ketika dirunut dari faktor sejarah
berdirinya DIY. Dari seluruh luas wilayah DIY, 4.000 hektar di antaranya adalah
Sultan Ground dan Paku Alam Ground, yang berupa tanah-tanah raja dan keluarga
Keraton, situs, tanah yang digarap masyarakat atau magersari dan tanah kosong
serta garapan kosong. Tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground adalah tanah
yang bukan milik perseorangan atau desa. Kebanyakan digunakan untuk tempat
tinggal dengan status magersari. Mereka tidak memiliki sertifikat, melainkan
surat kekancingan yang dikeluarkan kraton. Tentu dengan konsekuensi siap pindah
apabila tanah yang ditempati diminta kraton.
4.
Hukum Tanah Antar Golongan.
Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus)
agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan
dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat
atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya
sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).
5.
Hukum Tanah Administrasi.
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang
merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya
sebagai badan penguasa. Menurut UUPA dengan lahirnya UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
a)
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional
b)
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c)
Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan
tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria
dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang
ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu
cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
a)
Persyaratan obyek materiil, yaitu bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b)
Persyaratan obyek formal, yaitu UUPA sebagai pedoman
atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional.
Landasan Hukum Agraria islah ketentuan
Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum
agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
a.
Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan
dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi
pengaturannya. “bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan
dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33
Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang
ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan
Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua
tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”.
b.
Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum
agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara
dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Garis-garis besar dari pada haluan Negara….”
Pengaturan
keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan
memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara
pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus
meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa
kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.
Tujuan dari
administrasi pertanahan yaitu:
·
Komponen
yuridis memegang kendali utama dalam administrasi pertanahan untuk
mendapatkan kepastian hak atas tanah.
·
Komponen
Regulator yang penting untuk dihubungkan dengan pembangunan dan pengunaan
lahan.Hal ini termasuk pembangunan lahan dan ketatnya penggunaan pajak melalui
mekanisme yang berlaku.
·
Komponen
fiskal lebih mengutamakan pada pemberian pajak lahan yang menunjang
perekonomian.Proses ini digunakan untuk mendukung naiknya nilai pengumpulan dan
produksi,serta sebagai insentif untuk mendisrtibusikan lahan terhadap
tujuan-tujuan khusus lainnya.
·
Manajemen
informasi,untuk memberi berbagai kelengkapan data yang memuat tiga aspek diatas
yaitu fiskal kadaster dalam nilai dan pajak,dan pembagian wilayah dari sistem
informasi yang lain dalam perencanaan dan pematuhan peraturan yang berkaitan.
Manfaat dari
administrasi pertanahan yaitu:
·
Memberikan
jaminan atas kepastian hak,maksud semakin jelas penentuan hak milik seseorang
akan mempermudah untuk orang tersebut mempertahankan haknya atas klaim dari
orang lain.
·
Stabilitas
sosial,catatan publik yang tepat akan melindungi dari pengunjingan
mengenai kepemilikan yang sah (bila nantinya ada yang menggugat),dan membantu
menyelesaikan masalah-masalah lain dengan cepat sejak batasan
dan kepemilikan tanah dibuat.
·
Kredit,catatan
publik akan mengurangi ketidakpastian informasi melalui pemberian kewenagan
pada kreditor untuk menentukan apakah peminjam potensial telah memiliki hak
untuk pemindahan hak yang diminta menurut apa yang diminta sebagai jaminan
peminjam.
·
Proses
perbaikan lahan, pembaharuan jaminan atas kepastian hak pemilik akan menaikan
kecenderungan seseorang untuk mencari keuntungan ketika akan berinvestasi pada
bangunan,peralatan atau perbaikan infrastruktur termasuk pengukuran
perlindungan lahan. Cara kredit yang sudah diperbaiki menyediakan sumber daya
keuangan yang bisa mempengaruhi nilai lahan.
·
Produktivitas,
faktor-faktor seperti nilai guna, perpindahan
lahan, kepemilikan, pembanguan, hak atas tanah dan lain-lain dikombinasikan
untuk meyakinkan bahwa lahan itu sedang berkembang menuju nilai dan manfaat
yang terbaik, misalnya,
pertanian komersil dilakukan oleh petani yang
cerdik untuk mendapatkan keuntungan dan lahan lebih. Beda dengan petani biasa
yang tidak bisa mengembangkan lahannya.
·
Likuiditas,
ketika hak kepemilikan sudah dapat legalitas
formal aset-aset tersebut bisa ditukar dengan cepat dalam skala besar dan pada
harga yang rendah. Pada Negara-negara berkembang,mayoritas hak kepemilikan
dalam stastus informal,oleh karena itu mereka tidak dapat memasuki tempat
pasaran formal sebagai aset yang bisa dinegosiasikan.
Pada
pelaksanaan administrasi pertanahan ada aspek yang penting untuk menjamin
kepastian hukum bagi pemilik tanah, yaitu pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah
ini lebih jelasnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang
pedoman pendaftaran tanah. Pada pelaksanaan administrasi
pertanahan ada aspek yang penting untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik
tanah, yaitu pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah ini lebih jelasnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pedoman pendaftaran tanah.
Kelima perangkat Hukum Tanah tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka,
atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan
masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria
Administratif yang tertuang dalam Agrarische Wet dan
Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan
Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Prof.
Boedi Harsono, 2006, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.
ü S. Gautama, 1973, Hukum agraria antar golongan,
Bandung : Alumni, Bandung.
ü Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
UUPA dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Cet ke 11,
Djambatan, Jakarta.
ü Muchsin & Imam
Koeswahyono, (Soimin,Editor), 2007, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, Cet I,
Refika Aditama, Bandung.
Oloan Sitorus & HM Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria Indonesia Konsep
Dasar & Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
FYUH....akhirnya nemu juga nih wat tugasnya p.rizal..
BalasHapusthanks infonya mz... sama2 dari FH UJ juga nie..