Rabu, 21 Maret 2012

tugas hk.pajak


BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya. Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa  kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan. Berbagai upaya yag dilakukan belum menunjukkan perubahan yang singnifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia. Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.
Cukup terlihat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam skala penerimaan pajak nasional dan lebih lanjut pada penerimaan Negara pada umumnya. Penerimaan dalam negeri menjadi sumber utama apabila kemandirian pembiayaan Negara yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu penerimaan pajak yang merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri yang harus ditingkatkan peranannya karena pajak merupakan sumber penerimaan utama yang merefleksikan praktek demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat ikut dalam pembiaaan Negara dan pemerintahannya. Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
Penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah tentulah membutuhkan pembiayaan. Salah satu sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk memenuhi sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan tersebut Pemerintah Daerah akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan realisasi penerimaannya. Melalui peningkatan penerimaan tersebut diharapkan juga dapat ditingkatkan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu  orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.

1.2     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tentang Justifikasi Pemungutan Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak?
2.      Bagaimana tentang Sinergi Penegakan Hukum Pajak di Indonesia?

1.3     Tujuan dan Manfaat
1.3.1        Tujuan:
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan justifikasi pemungutan pajak beserta sinergi penegakan hukum pajak di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pembayaran pajak di Indonesia.
1.3.2        Manfaat:
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak.
2.      Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum.
3.      Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang sama.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Landasan Teori
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak atau enggan menyewa konsultan pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
·         Pungutan harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
·         pengaturan pajak harus berdasarkan uu
Sesuai dengan pasal 23 uud 1945 yang berbunyi: “pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
·         pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
·         sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak atau jasa konsultan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah Hukum  yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak  diantaranya adalah:
2.1.1    Teori Pungutan Pajak
1.      Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2.      Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3.      Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4.      Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5.      Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
2.1.2    Asas Pungutan Pajak
1.      Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2.      Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut  berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3.      Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.

2.1.3    Sistem Pungutan Pajak
1.      Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak  dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2.      Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.

2.2       Dasar Hukum
1.         UUD 1945
2.         UU No 28 Tahun 2007 tentang KUP
3.         UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPH
4.         Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

5.         Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negeri.
6.         UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994.
7.         UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994.
8.         UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai.
9.         UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1         Justifikasi Pemungutan Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak.
Sebelum membahas tentang justifikasi dalam pemungutan pajak, hukum sanksi dan hutang pajak, terlebih dahulu kita harus memahami pengertian yang lebih mendalam tentang pajak. Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
·           Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan.
·           Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
o    Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
o    Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
o    Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
o    Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
o    Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
·           Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
·           Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social objectives”.

Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria tertentu.

3.1.2        Prinsip Pemungutan Pajak
Mengapa fiskus suatu negara berhak memungut pajak dari penduduknya?. Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut penganut teori ini, melindungi segenap rakyatnya.Namun teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan unsur dalam definisi pajak itu sendiri. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; penduduk terikat pada keberadaan negara, karenanya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti kepada negara. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi negara untuk memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
Selain itu ada pula yang disebut dengan teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.
3.1.3        Sistem Perpajakan
            Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, sistem dan subsistem.
            Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara ad`lah sistem dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan Withholding tax System.
            Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak. Official Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
3.1.4        Tarif Pajak
            Dalam berbagai literatur perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
            Tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-. Sedangkan yang dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,- 10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-.
            Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil.
3.1.5        Hukum Pajak
            Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
            Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
3.1.6        Sanksi Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu a). Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn; b). Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan c). Hukum Pidana Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.
3.1.7        Utang Pajak
Menurut faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain : Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.

3.2         Sinergi Penegakan Hukum Pajak
Torehan sejarah penegakan hukum di bidang perpajakan menjadi sorotan menarik ketika Dirjen Pajak bersama Kabareskim Polri pada 23 Februari menandatangani nota kesepahaman (MoU) di bidang penegakan hukum, khususnya dalam menunjang tugas pengumpulan pajak. Mengapa begitu menarik? Karena ditengah pemberitaan mengenai penunggakan pajak besar yang masih terus terjadi, sebagian kalangan menilai langkah Ditjen Pajak itu seakan ingin meminta dukungan lebih luas untuk proses penindakan. Padahal tidaklah demikian.
MoU antara Ditjen Pajak dan Polri sebenarnya pernah dilakukan pada 2004. Hal ini berarti MoU Polri dan Ditjen Pajak sudah berlangsung selama 6 tahun, tetapi baru kali ini diperbarui dan disempurnakan dengan menyesuaikan pada ketentuan perundang-undangan perpajakan yang baru. Ketika persoalan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan masyarakat menjadi fokus dalam hidup bernegara, bisa dipastikan tidak ada cara lain soal pembiayaan yang dibutuhkan, selain menggenjot sektor pajak. Oleh karena itu, wajar bila semua pandangan tertuju pada langkah yang akan diambil Ditjen Pajak dalam mengumpulkan setoran pajak, yang salah satunya melakukan MoU dengan Polri. Terlebih lagi menuju target 2013-yang tinggal 3 tahun lagi-yaitu Ditjen Pajak dituntut untuk dapat mengum-pulkan penerimaan sebesar Rp 1.000 triliun.
Mengumpulkan jumlah yang cukup besar tersebut, tentu patut memerlukan dukungan seluruh instansi pemerintah, kalangan dunia usaha dan semua pihak agar kesejahteraan melalui pajak bisa tercapai. Kalau kita memperhatikan struktur penerimaan negara yangiercantum dalam APBN, dukungan berbagai kalangan menjadi amat wajar. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, terlihat bahwa peranan penerimaan pajak selalu mendominasi penerimaan APBN. Bahkan saat ini porsi penerimaan dari sektor pajak sudah mencapai sekitar 70% dari total penerimaan APBN.
Kalau begitu, langkah pembaruan MoU Polri dan Ditjen Pajak merupakan satu langkah sinergi dalam menyamakan persepsi khususnya dalam proses law enforcement di bidang perpajakan. Hal ini diakui Menkeu dalam sambutannya bahwa pembaruan MoU kedua belah pihak menunjukkan dinamisasi dan kreativitas yang selalu menginginkan kerjasama yang lebih baik, sehingga tidak terjadi benturan pekerjaan dalam menangani penegakan hukum di bidang perpajakan.
Pertanyaan besar yang mtngkin timbul dari berbagai kalangan, apakah Polri juga akan memeriksa wajib pajak ? Pertanyaan ini cukup menarik karena memang ada kekhawatiran dari wajib pajak yang kurang memahami hukum pajak bahwa Polri akan turut serta memeriksa wajib pajak. Padahal memeriksa wajib pajak adalah domain Ditjen Pajak.
Dengan berpegang pada MoU serta perundang-undangan yang berlaku, diyakini bahwa Polri tidak akan memeriksa Wajib Pajak terkait persoalan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Wajib Pajak. Namun dalam hal Wajib Pajak melakukan tindak pidana terkait proses kewajiban perpajakan yang harus dilakukan-misalnya Wajib Pajak melakukan pemalsuan dokumen, ada persoalan pencucian uang atau tindak pidana lainnya tentu Polri yang akan menanganinya.
Sinergisitas Polri dan Ditjen Pajak dalam melakukan proses penegakan hukum pajak, umumnya dilakukan oleh Polri dengan memberikan bantuan ketika petugas pajak mengalami kesulitan dalam proses penagihan utang pajak, pemeriksaan dan proses penyidikan tindak pidana pajak. Misalkan wajib pajak melakukan perlawanan ketika juru sita pajak akan melakukan penyitaan atas harta milik wajib pajak. Atau ketika Juru sita pajak akan melakukan penyanderaan [gijzeling) terhadap wajib pajak yang akan disandera.
Dalam proses penyidikan, kepolisian akan memberikan bantuannya kepada petugas pajak yang menjadi penyidik. Sebab yang memahami berbagai teknis penyidikan adalah pihak kepolisian. Dalam proses pemeriksaan bisa pula dimintakan bantuan polisi sepanjang dipandang ada perlawanan secara fisik yang akan dilakukan wajib pajak kepada petugas pajak. Mengenai pemberitaan 100 atau 10 penunggak pajak terbesar yang akan ditangani Polri, juga tidak benar. Sebab Polri tidak mempunyai .kewenangan untuk turut dalam proses pencairan tunggakan pajak.
Sikap Polri yang serius membantu Ditjen Pajak dalam melaksanakan penegakan hukum pajak tentunya harus diberi apresiasi dan bukan malah dinilai ke arah lain misalnya ke arah politis atau apa pun namanya. Profesionalisme kepolisian dan Ditjen Pajak akan menjadi taruhan masa depan pemerintah maupun bangsa.
Sikap profesionalisme kedua instansi dalam melaksanakan tugasnya masing-masing harus menjadi jaminan 100% dalam membangun masyarakat yang lebih baik ke depan. Martabat pemerintah di mata masyarakat dan dunia kiranya akan tetap bisa dipandang tinggi bila sikap profesionalisme polri dan pajak selalu melekat dalam melakukan pekerjaannya. Bahkan sikap profesionalisme kepolisian dan pegawai pajak akan terus disorot dan dituntut berbagai pihak.
Manakala kesejahteraan, keadilan dan keamanan masyarakat menjadi dambaan dan tujuan negara untuk bisa mewujudkannya dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, rasanya tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain sikap profesionalisme masing-masing pihak yang harus dijunjung tinggi dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Harapan tercapainya sinergi proses penegakan hukum di bidang perpajakan kiranya akan mencapai sasaran yang diinginkan bersama melalui sikap profesionalisme Polri dan Ditjen Pajak. eYang pasti, masyarakat menunggu kinerja pemerintah dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan melalui pembiayaan utamanya yaitu pajak.


BAB 1V
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelula dengan baik . Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara .Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undnag, penerbitan peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya.
4.2       Saran
            Cukup terlihat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam skala penerimaan pajak nasional dan lebih lanjut pada penerimaan Negara pada umumnya. Penerimaan dalam negeri menjadi sumber utama apabila kemandirian pembiayaan Negara yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu penerimaan pajak yang merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri yang harus ditingkatkan peranannya karena pajak merupakan sumber. penerimaan utama yang merefleksikan praktek demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat ikut dalam pembiaaan Negara dan pemerintahannya.



DAFTAR PUSTAKA


1.             Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung.
2.             Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung.
3.             Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga.
4.             Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung.
Muljono, Djoko, 2010. Hukum Pajak (Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis).    http://referensi-hukum.blogspot.com/2011/03/hukum-pajak-dan-dasar-hukumnya.html. Diunduh pada Pukul : 19:15 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar