BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari
sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan
penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan
fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari
kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak
bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara
untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara
dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak,
sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada
anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan
Indonesia.
Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk
meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui
penyempurnaan undang-undang, penerbitan peratuan perundang-undangan baru
dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali
sumber hukum pajak lainnya. Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah
negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan
masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru
yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak
yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya
mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi
dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa
kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di
samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan. Berbagai upaya yag
dilakukan belum menunjukkan perubahan yang singnifikan bagi penerimaan Negara.
Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis
ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum
terselesaikan di Indonesia. Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar
berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang
golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.
Cukup terlihat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam skala
penerimaan pajak nasional dan lebih lanjut pada penerimaan Negara pada umumnya.
Penerimaan dalam negeri menjadi sumber utama
apabila kemandirian pembiayaan Negara yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia
benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu penerimaan pajak yang merupakan
salah satu komponen penerimaan dalam negeri yang harus ditingkatkan peranannya
karena pajak merupakan sumber penerimaan utama yang merefleksikan praktek
demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat ikut dalam pembiaaan
Negara dan pemerintahannya. Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan.
Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax
coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan
pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari
kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu
bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap
muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak
(fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan
bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu,
penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
Penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
tentulah membutuhkan pembiayaan. Salah satu sumber dana bagi pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk memenuhi sumber dana bagi pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan tersebut Pemerintah Daerah akan berusaha
semaksimal mungkin untuk meningkatkan realisasi penerimaannya. Melalui
peningkatan penerimaan tersebut diharapkan juga dapat ditingkatkan pelayanan
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk
menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban
membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang
simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari
begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya
adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh penghasilan
baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan
perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah
atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris ,
pengacara.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
tentang Justifikasi Pemungutan Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak?
2. Bagaimana
tentang Sinergi Penegakan Hukum Pajak di Indonesia?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
1.3.1
Tujuan:
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1. Supaya penulis pribadi dan para pihak yang
membaca makalah ini mengetahui tentang macam-macam serta penggolongan
penggolongan pajak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
justifikasi
pemungutan pajak beserta sinergi penegakan hukum pajak di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban
pembayaran pajak di Indonesia.
1.3.2
Manfaat:
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan
makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengetahuan mengenai
ilmu Hukum Pajak.
2. Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah
ilmu Hukum.
3. Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga
menulis dalam hal yang sama.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak
mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi
berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar
hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas
negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan
dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat
Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan
pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan
yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak
memberikan imbalan.
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak
pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak
atau enggan menyewa konsultan pajak.
Namun
bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang
kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus
memenuhi persyaratan yaitu:
·
Pungutan harus adil
Seperti
halnya produk hukum pajak pun mempunyai
tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
·
pengaturan pajak harus berdasarkan uu
Sesuai
dengan pasal 23 uud 1945 yang berbunyi: “pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
·
pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya
yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan
sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak
tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan
dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
·
sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana
pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak atau jasa
konsultan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat
positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin
enggan membayar pajak.
Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan
pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan,
untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang
dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat
sistem pemungutan pajak diantaranya adalah:
2.1.1 Teori Pungutan Pajak
1. Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan
premi yang harus dibayar rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga
ketertiban dan keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2. Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya
memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut pemerintah kepada
rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas
pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta
harta bendanya.
3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut
daya pikul atau kemampuan seseorang.
4. Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham
organisasi negara yang mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi
mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan
tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut
pajak.
5. Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan
rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan
kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan
masyarakat yang meliputi keduanya.
2.1.2 Asas Pungutan Pajak
1. Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada
domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal
seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat
darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat
kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2. Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan
didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi
tempat sumber pendapatan tersebut berhak memungut pajak tanpa
memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan
pajak didasarkan pada kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak
seseorang adalah negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.
2.1.3 Sistem Pungutan Pajak
1. Official Assesment System: adalah sistem
pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau
terhutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau
fiscus.
2. Self Assesment System: adalah sistem
pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau
terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.
2.2 Dasar Hukum
1.
UUD 1945
2.
UU No 28 Tahun 2007 tentang KUP
3.
UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPH
4.
Undang-Undang
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
5.
Undang-undang
nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi
yang bertolak keluar negeri.
6.
UU No. 8
Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994.
7.
UU No.
12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994.
8.
UU No.
13 Tahun 1985 ttg Bea Materai.
9.
UU No.
21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Justifikasi Pemungutan
Pajak, Hukum Sanksi dan Hutang Pajak.
Sebelum membahas tentang
justifikasi dalam pemungutan pajak, hukum sanksi dan hutang pajak, terlebih
dahulu kita harus memahami pengertian yang lebih mendalam tentang pajak. Beberapa ahli memberikan pengertian antara
pajak antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang
diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
·
Menurut
Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan
dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa
mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah
dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan.
·
Menurut
Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat
kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk
‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public
investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat
dalam pajak ialah:
o
Pajak
dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
o
Sifatnya
dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat
dikenakan sanksi;
o
Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung
oleh pemerintah;
o
Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat
maupun daerah;
o
Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
·
Menurut
Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.
·
Menurut
Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory
transfer of recourses from the private to the public sector, levied on the
basis of predetermined criteria without reference to specific benefits
receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social
objectives”.
Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum
Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of
taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan
pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada
akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan
kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang
melekat pada pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas
beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan
pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan
objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga
membuat penggolongan tersendiri atas kriteria tertentu.
3.1.2
Prinsip Pemungutan Pajak
Mengapa fiskus suatu
negara berhak memungut pajak dari penduduknya?. Menurut teori asuransi, fiskus
berhak memungut pajak dari penduduknya, karena negara dianggap identik dengan
perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar
premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut penganut
teori ini, melindungi segenap rakyatnya.Namun teori ini mempunyai
kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan
negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab
sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada
wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak,
maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan unsur dalam definisi pajak itu
sendiri. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa negara berhak memungut pajak
dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada
negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula
perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori
asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk
melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi
penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran,
apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh
petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi
pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini
kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
Adapun teori bakti dapat
dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar llmu
Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai
suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori
bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara; penduduk
terikat pada keberadaan negara, karenanya penduduk wajib membayar pajak, wajib
berbakti kepada negara. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak
kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi
negara untuk memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah
ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar
pajak, wajib berbakti kepada negara.
Selain itu ada pula yang
disebut dengan teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas
justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut
pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib
pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran teori ini ternyata
masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan
dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah
yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih
dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut
penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak
minimum of subsistence.
3.1.3
Sistem Perpajakan
Ludwig von Bertalanffy,
seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada
tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti
dalam ilmu alam: ada organ, sel dan mulekul. Suatu masyarakat terdiri dari
suprasistem, sistem dan subsistem.
Sistem perpajakan dapat
disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan
negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara ad`lah sistem dan
perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan
di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan
pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam sistem perpajakan di
Indonesia dikenal Self Asssessment System, Official Assessment System dan
Withholding tax System.
Self Assessment System
adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak
untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Withholding tax system adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak
ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh
undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari
penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak. Official
Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif untuk
memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus.
3.1.4
Tarif Pajak
Dalam berbagai literatur
perpajakan dikenal lima macam tarif pajak yakni tarif tetap (fixed rate), tarif
proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate), tarif
regresif (regressive rate) dan tarif degresif (degressive rate).
Tarif tetap adalah tarif
yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek
Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya tarif Bea Meterai berdasarkan
Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda
terima uang di atas Rp1.000.000,- adalah Rp6.000,- Walaupun uang yang diterima
besarnya Rp100.000.000,- atau Rp10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea
Meterai yang terutang tetap Rp6.000,-. Sedangkan yang
dimaksud dengan tarif proporsional adalah tarif yang prosentasenya tetap
walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN 10% atas Rp100.000,-
10% atas Rp50.000.000,- 10% atas Rp10.000.000.000,-.
Tarif Pajak yang bersifat
progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin
tinggi pula prosentase tarif pajaknya. Misalnya tarif Pajak Pendapatan tahun
1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Adapun tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang makin tinggi objek
pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya. Sedangkan tarif Pajak Degresif
adalah tarif pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah
tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang
akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin
kecil.
3.1.5
Hukum Pajak
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan
(hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak
dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal
(Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari
pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum
Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana
mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat
dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa,
apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum
pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan
hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil
menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183
hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang
jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban
untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
3.1.6
Sanksi Pajak
Sanksi
administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa denda, bunga dan
kenaikan. Hukum Pidana Fiskal dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu a).
Peraturan Hukum Pidana mengenai Pajak Langsung dan Pajak Peredaran (PPe)/PPn;
b). Peraturan Hukum Pidana mengenai Bea Cukai; dan c). Hukum Pidana
Pemerintahan/Quasi/ Semu/Tidak Sebenarnya.
Sanksi
administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang
bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap
pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat
pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara.
Sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak
yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar),
tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan
SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT.
Sedangkan
sanksi administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak)
dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang
akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000,
kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus
dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang
tidak/kurang dibayar.
3.1.7
Utang Pajak
Menurut
faham formal utang pajak timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus
menerbitkan SKP. Dalam contoh di atas, utang pajak si A baru akan timbul
sesudah fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, si A tidak mempunyai kewajiban
membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP.
Menurut
faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang
disyaratkan dalam undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang
tersebut disebut sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi
si A dalam contoh di atas menurut UU PPh 2000 antara lain : Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari
183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai
penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia
tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut
faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau
karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan
dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun
zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak’.
3.2
Sinergi Penegakan Hukum Pajak
Torehan sejarah penegakan hukum di bidang perpajakan menjadi sorotan
menarik ketika Dirjen Pajak bersama Kabareskim Polri pada 23 Februari
menandatangani nota kesepahaman (MoU) di bidang penegakan hukum, khususnya
dalam menunjang tugas pengumpulan pajak. Mengapa begitu menarik? Karena ditengah pemberitaan
mengenai penunggakan pajak besar yang masih terus terjadi, sebagian kalangan menilai
langkah Ditjen Pajak itu seakan ingin meminta dukungan lebih luas untuk proses
penindakan. Padahal tidaklah demikian.
MoU antara Ditjen Pajak dan Polri sebenarnya pernah dilakukan pada
2004. Hal ini berarti MoU Polri dan Ditjen Pajak sudah berlangsung selama 6
tahun, tetapi baru kali ini diperbarui dan disempurnakan dengan menyesuaikan
pada ketentuan perundang-undangan perpajakan yang baru. Ketika persoalan
kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan masyarakat menjadi fokus dalam hidup
bernegara, bisa dipastikan tidak ada cara lain soal pembiayaan yang dibutuhkan,
selain menggenjot sektor pajak. Oleh karena itu, wajar bila semua pandangan
tertuju pada langkah yang akan diambil Ditjen Pajak dalam mengumpulkan setoran
pajak, yang salah satunya melakukan MoU dengan Polri. Terlebih lagi menuju
target 2013-yang tinggal 3 tahun lagi-yaitu Ditjen Pajak dituntut untuk dapat
mengum-pulkan penerimaan sebesar Rp 1.000 triliun.
Mengumpulkan jumlah yang cukup besar tersebut, tentu patut
memerlukan dukungan seluruh instansi pemerintah, kalangan dunia usaha dan semua
pihak agar kesejahteraan melalui pajak bisa tercapai. Kalau kita memperhatikan
struktur penerimaan negara yangiercantum dalam APBN, dukungan berbagai kalangan
menjadi amat wajar. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, terlihat bahwa peranan
penerimaan pajak selalu mendominasi penerimaan APBN. Bahkan saat ini porsi
penerimaan dari sektor pajak sudah mencapai sekitar 70% dari total penerimaan
APBN.
Kalau begitu, langkah pembaruan MoU Polri dan Ditjen Pajak merupakan
satu langkah sinergi dalam menyamakan persepsi khususnya dalam proses law
enforcement di bidang perpajakan. Hal ini diakui Menkeu dalam sambutannya bahwa
pembaruan MoU kedua belah pihak menunjukkan dinamisasi dan kreativitas yang
selalu menginginkan kerjasama yang lebih baik, sehingga tidak terjadi benturan
pekerjaan dalam menangani penegakan hukum di bidang perpajakan.
Pertanyaan besar yang mtngkin timbul dari berbagai kalangan, apakah
Polri juga akan
memeriksa wajib pajak ? Pertanyaan ini cukup menarik karena memang ada
kekhawatiran dari wajib pajak yang kurang memahami hukum pajak bahwa Polri akan
turut serta memeriksa wajib pajak. Padahal memeriksa wajib pajak adalah domain
Ditjen Pajak.
Dengan berpegang pada MoU serta perundang-undangan yang berlaku,
diyakini bahwa Polri tidak akan memeriksa Wajib Pajak terkait persoalan
kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Wajib Pajak. Namun dalam hal Wajib
Pajak melakukan tindak pidana terkait proses kewajiban perpajakan yang harus
dilakukan-misalnya Wajib Pajak melakukan pemalsuan dokumen, ada persoalan
pencucian uang atau tindak pidana lainnya tentu Polri yang akan
menanganinya.
Sinergisitas Polri dan Ditjen Pajak dalam melakukan proses penegakan
hukum pajak, umumnya dilakukan oleh Polri dengan memberikan bantuan ketika
petugas pajak mengalami kesulitan dalam proses penagihan utang pajak,
pemeriksaan dan proses penyidikan tindak pidana pajak. Misalkan wajib pajak
melakukan perlawanan ketika juru sita pajak akan melakukan penyitaan atas harta
milik wajib pajak. Atau ketika Juru sita pajak akan melakukan penyanderaan
[gijzeling) terhadap wajib pajak yang akan disandera.
Dalam proses penyidikan, kepolisian akan memberikan bantuannya
kepada petugas pajak yang menjadi penyidik. Sebab yang memahami berbagai teknis
penyidikan adalah pihak kepolisian. Dalam proses pemeriksaan bisa pula
dimintakan bantuan polisi sepanjang dipandang ada perlawanan secara fisik yang
akan dilakukan wajib pajak kepada petugas pajak. Mengenai pemberitaan 100 atau
10 penunggak pajak terbesar yang akan ditangani Polri, juga tidak benar. Sebab
Polri tidak mempunyai .kewenangan untuk turut dalam proses pencairan tunggakan
pajak.
Sikap Polri yang serius membantu Ditjen Pajak dalam melaksanakan
penegakan hukum pajak tentunya harus diberi apresiasi dan bukan malah dinilai
ke arah lain misalnya ke arah politis atau apa pun namanya. Profesionalisme
kepolisian dan Ditjen Pajak akan menjadi taruhan masa depan pemerintah maupun
bangsa.
Sikap profesionalisme kedua instansi dalam melaksanakan tugasnya
masing-masing harus menjadi jaminan 100% dalam membangun masyarakat yang lebih
baik ke depan. Martabat pemerintah di mata masyarakat dan dunia kiranya akan
tetap bisa dipandang tinggi bila sikap profesionalisme polri dan pajak selalu
melekat dalam melakukan pekerjaannya. Bahkan sikap profesionalisme kepolisian
dan pegawai pajak akan terus disorot dan dituntut berbagai pihak.
Manakala kesejahteraan, keadilan dan keamanan masyarakat menjadi
dambaan dan tujuan negara untuk bisa mewujudkannya dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat, rasanya tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan selain sikap
profesionalisme masing-masing pihak yang harus dijunjung tinggi dalam
melaksanakan tugasnya sehari-hari. Harapan tercapainya sinergi proses penegakan hukum
di bidang perpajakan kiranya akan mencapai sasaran yang diinginkan bersama
melalui sikap profesionalisme Polri dan Ditjen Pajak. eYang pasti, masyarakat
menunggu kinerja pemerintah dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan melalui
pembiayaan utamanya yaitu pajak.
BAB 1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari
sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan
penerimaan strategis yang harus dikelula dengan baik . Dalam struktur keuangan
Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk
meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara .Kebijakan
tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undnag, penerbitan
peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan
kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya.
4.2 Saran
Cukup
terlihat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam skala penerimaan pajak
nasional dan lebih lanjut pada penerimaan Negara pada umumnya. Penerimaan
dalam negeri menjadi sumber utama apabila kemandirian pembiayaan Negara yang
menjadi cita-cita bangsa Indonesia benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu
penerimaan pajak yang merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri
yang harus ditingkatkan peranannya karena pajak merupakan sumber. penerimaan utama yang
merefleksikan praktek demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat
ikut dalam pembiaaan Negara dan pemerintahannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar
Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung.
2.
Brotodiharjo Santoso R,
1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung.
3.
Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang
Perpajakan Indonesia,Erlangga.
4.
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau
Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung.
Muljono, Djoko, 2010. Hukum Pajak
(Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis).
http://referensi-hukum.blogspot.com/2011/03/hukum-pajak-dan-dasar-hukumnya.html.
Diunduh pada Pukul : 19:15 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar