PERSPEKTIF
ATAS FILSAFAT SAINS
Terdapat
cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab
oleh ilmu atau cabang-cabang ilmu. Filsafat diartikan dalam bahasa Yunani
“Philosophia”, yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya
ialah philos (philia, cinta) dan Sophia (kearifan). Menurut pengertiannya semula
dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun cakupan
pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia
tidak hanya berarti kearifan saja melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan
luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan
bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis. Menurut sejarah kelahiran
istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates.
Yaitu sikap seorang cinta kebijaksanaan yang mendorong piker seseorang untuk
terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli,
tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran.11 Filsafat timbul karena manusia merasa kagum dan heran.
Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam.
Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia semakin kompleks maka
tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Sebelum abad ke 17
ilmu pengetahuanadalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran Van Peursen yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari
filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang
dianut.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, menurut Kunto Wibisono, filsafat itu sendiri telah
mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu
pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan
diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri. Dengan demikian perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru ke arah ilmu pengetahuan yanglebih
khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang
dikmukakan Van Peursen, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu
sistem yang jalin menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang
sifat benar tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari macam pengelompokan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan
semboyannya “Knowledge Is Power”, dapat disinyalir bahwa peranan ilmu
pengetahuan terhadap kehidupan manusia baik individual maupun sosial menjadi
sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Kunto Wibisono,
adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang
lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar –murni atau teoritis
dengan ilmu terapan atau praktis. Demi mengatasi gap antara ilmu yang satu
dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani
serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu maka bidang filsafatlah
yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal yang senada dengan pendapat Immanuel
Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Lebih lanjut Kunto Wibisono menyatakan karena pengetahuan ilmiah atau ilmu
merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu
sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai
cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu Pengetahuan. Bidang garapan
filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang
penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal
ini didukung oleh Israel Scheffler yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan ilmu. Interaksi
antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dengan ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh
dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan menutup ungkapan dari Michael
Whiteman, bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat
dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain
adalah tidak mungkin. Sebaliknya banyak persoalan filsafati, sekarang banyak
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasi menjadi benar. Keterkaitan
filsafat dengan ilmu menjadikan konsep ini menjadi suatu kesatuan utuh yakni
konsep filsafat ilmu. Menurut The Liang Gie, Filsafat Ilmu, adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenaisegala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan
pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi
antara filsafat dan ilmu. Sehubungan dengan pendapat tersebut serta bagaimana
pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa
filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan, oleh karena itu setiap saat ilmu itu
berubah mengikuti perkembangan jaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan
lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan
baru. Hal ini senada dengan ungkapan Archie. J. Bahm bahwa ilmu pengetahuan
adalah sesuatu yang selalu berubah. Dalam perkembangannya, filsafat ilmu
mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik
dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia. Menurut Kunto Wibisono, filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang
dijadikan objek sasarannya sehingga filsafat ilmu peengetahuan yang merupakan
salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk
memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakekat ilmu menyangkut
masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang
ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het
zijn). Inilah awal mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang
idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostistis dan lain sebagainya yang
implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu
cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak
dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana
yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Pemahaman hakekat
ilmu itu menurut Poespoprodjo dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu,
kemungkinan-kemungkinan pengembangannya keterjalinannya antar ilmu, simplikasi
dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu
itu sendiri. Lebih dari itu dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, akan didorong
untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metode, prasuposisi ilmunya, logika
validasinya struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in
concreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari
kecongkakan serta kerabunan intelektualnya. Ditinjau dari segi historis,
hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang
sangat mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “Philosophia”,
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di kemudian hari ternyata ada kecenderungan lain. Filsafat Yunani
kuno, yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.12 Berdasarkan
Al Qur’an, terdapat kata-kata tentang Ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma’,
‘ilmi’, ‘ilmu’, ‘ilman’, ‘ilmihi’, ‘ilmuha’, ‘ilmuhum’) terulang sebanyak 99
kali.1314 Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen
Agama RI,15 cetakan Madinah Munawarah (1990) diartikan dengan: pengetahuan,
ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sementara itu, kata ‘ilmu itu
sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima’ = mengetahui, mengerti. Maknanya
seseorang dianggap mengerti karena sudah mengetahui objek atau fakta lewat
pendengaran, penglihatan dan hatinya. Kata ilmu dalam pengertian teknis
operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari
makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran
tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berpikir rasional
dalam menggapai kebenaran (QS. 17;36). Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu
persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat suatu bentuk persepsi
yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi;
yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu”.16 Menyimak dari pandangan Ibnu
Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau
realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun
dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau objek. Kehadiran secara
utuh dari suatu objek terhadap subjek adalah suatu realitas yang tak bisa
dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan
kongkrit yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya. Berawal dari kesadaran
tentang realitas atas tangkapan indra dan hati yang kemudian diproses akal
untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu objek
atau realitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam
limu. Sementara itu, proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk
memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang
realitas metafisika yakni apa yang terjadi di balik objek rasional yang
bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam
firman Allah (QS.3:191) artinya: Orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari
siksa api neraka. Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan
spiritualitas dalam ilmu, bagaikan keping mata uang antara satu sisi
dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya
menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh
alam spiritual dan begitu sebaliknya.17 Hal tersebut berbeda dengan kalangan
yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat
dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai
suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu
sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai
putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran
tentang realitas alam sebagai objek yang harus diekploitasi dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium
sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, dimana kesadaran tentang
Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana
pengembangan ilmu.
PENDEKATAN EKTERNAL ANARKISTIK:
SUATU PEMBANDING
Thomas S.
Kuhn berhasil menjelaskan sebuah siklus perkembangan ilmu secara revolusioner,
justru lewat kemandekan sains, maka Paul Feyerabend memberi penegasan
akan kemungkinan timbulnya revolusi dalam filsafat ilmu. Dalam bukunya Against
Method22 ia menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya
tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem
maupun hukum. Upaya semacam itu adalah sia-sia dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Menurutnya perkembangan ilmu terjadi karena kreativitas individual
maka satu-satunya prinsip yang tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan
adalah “ anything goes”. Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada
keteraturan dalam perkembangan ilmu yang kemudian keteraturan itu hendak
diwujudkan dalam hukum dan sistem. Dengan menganalisa beberapa episode dalam
sejarah ilmu antara lain Galileo-Galilei, Feyerabend menentang metode dengan
alasan kuat. Menurutnya dalam menjalankan riset dan mengambil keputusan,
sebaiknya ilmuwan tidak dibatasi, waluapun sudah dibimbing oleh metode-metode
yang ada namun ia harus tetap bebas. Kegiatan ilmu pengetahuan adalah kegiatan yang
anarkistik, pandangan itu terbentuk didasari pandangannya tentang
kedudukan ilmu pengetahuan di mata
masyrakat. Menurutnya dalam masyarakat dewasa ini ilmu pengetahuan menduduki
tempat yang sama dengan posisi agama sama pada abad pertengahan. Ilmu
pengetahuan mempunyai kuasa mutlak untuk memilih, Feyerabend amat menekankan
kebebasan individu dan terhadap ilmu pengetahuan dengan menyingkirkan segala
belenggu metodologis. Konsekuensinya adalah bahwa ia menolak superioritas ilmu
pengetahuan dan menolak sikap otoriter suatu tatanan. Kesamaan Feyerabend
dengan Kuhn terletak pada anggapan bahwa ilmu atau teori tidak bisa saling
diukur dengan standar yang sama. Menurut Feyerabend makna dan interpretasi
tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoritis.
DAFTAR
PUSTAKA
M, Abdullah, Amin, 2002, Epistemologi Ilmu Agama Islam Dalam
Khasanah
Perkembangan Epistemologi Ilmu Pengetahuan Modern, Universitas Islam Indonesia ,
Yogyakarta .
Kuhn, Thomas S, 1962, The Structure of Scientific Revolustions,
terjemahan oleh Tjun Suryaman menjadi : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains,
penyunting Lili Rasjidi, Cetakan ke-4, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kattsoff, Louis O., 1996, Pengantar Filsafat, alih bahasa
Soejono Sumargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muhadjir, Noeng, 2001, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post
Positivisme dan Post Modernisme, Edisi II, Yogyakarta: Reka Sarasin.
Nunu, Heryanto, 2002, Pentingya Landasan
Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan, Suatu Tinjauan Filsafat Sains),
Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar