Rabu, 14 Maret 2012

FILHUM


PERSPEKTIF ATAS FILSAFAT SAINS

Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang-cabang ilmu. Filsafat diartikan dalam bahasa Yunani “Philosophia”, yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan Sophia (kearifan). Menurut pengertiannya semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun cakupan pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis. Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang cinta kebijaksanaan yang mendorong piker seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.11 Filsafat timbul karena manusia merasa kagum dan heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia semakin kompleks maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Sebelum abad ke 17 ilmu pengetahuanadalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Kunto Wibisono, filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri. Dengan demikian perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru ke arah ilmu pengetahuan yanglebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikmukakan Van Peursen, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari macam pengelompokan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, dapat disinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Kunto Wibisono, adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar –murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Demi mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal yang senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Lebih lanjut Kunto Wibisono menyatakan karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu Pengetahuan. Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dengan ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan menutup ungkapan dari Michael Whiteman, bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain adalah tidak mungkin. Sebaliknya banyak persoalan filsafati, sekarang banyak memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasi menjadi benar. Keterkaitan filsafat dengan ilmu menjadikan konsep ini menjadi suatu kesatuan utuh yakni konsep filsafat ilmu. Menurut The Liang Gie, Filsafat Ilmu, adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenaisegala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu. Sehubungan dengan pendapat tersebut serta bagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan, oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan jaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan Archie. J. Bahm bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang selalu berubah. Dalam perkembangannya, filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia. Menurut Kunto Wibisono, filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya sehingga filsafat ilmu peengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn). Inilah awal mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostistis dan lain sebagainya yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Pemahaman hakekat ilmu itu menurut Poespoprodjo dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya keterjalinannya antar ilmu, simplikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metode, prasuposisi ilmunya, logika validasinya struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in concreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya. Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “Philosophia”, meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari ternyata ada kecenderungan lain. Filsafat Yunani kuno, yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.12 Berdasarkan Al Qur’an, terdapat kata-kata tentang Ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma’, ‘ilmi’, ‘ilmu’, ‘ilman’, ‘ilmihi’, ‘ilmuha’, ‘ilmuhum’) terulang sebanyak 99 kali.1314 Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI,15 cetakan Madinah Munawarah (1990) diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sementara itu, kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima’ = mengetahui, mengerti. Maknanya seseorang dianggap mengerti karena sudah mengetahui objek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya. Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berpikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17;36). Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu”.16 Menyimak dari pandangan Ibnu Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau objek. Kehadiran secara utuh dari suatu objek terhadap subjek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan kongkrit yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya. Berawal dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati yang kemudian diproses akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu objek atau realitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam limu. Sementara itu, proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika yakni apa yang terjadi di balik objek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam firman Allah (QS.3:191) artinya: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka. Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spiritualitas dalam ilmu, bagaikan keping mata uang antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitu sebaliknya.17 Hal tersebut berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai objek yang harus diekploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, dimana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana pengembangan ilmu.

PENDEKATAN EKTERNAL ANARKISTIK: SUATU PEMBANDING
Thomas S. Kuhn berhasil menjelaskan sebuah siklus perkembangan ilmu secara revolusioner, justru lewat kemandekan sains, maka Paul Feyerabend memberi penegasan akan kemungkinan timbulnya revolusi dalam filsafat ilmu. Dalam bukunya Against Method22 ia menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum. Upaya semacam itu adalah sia-sia dan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurutnya perkembangan ilmu terjadi karena kreativitas individual maka satu-satunya prinsip yang tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan adalah “ anything goes”. Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam perkembangan ilmu yang kemudian keteraturan itu hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Dengan menganalisa beberapa episode dalam sejarah ilmu antara lain Galileo-Galilei, Feyerabend menentang metode dengan alasan kuat. Menurutnya dalam menjalankan riset dan mengambil keputusan, sebaiknya ilmuwan tidak dibatasi, waluapun sudah dibimbing oleh metode-metode yang ada namun ia harus tetap bebas. Kegiatan ilmu pengetahuan adalah kegiatan yang anarkistik, pandangan itu terbentuk didasari pandangannya tentang
kedudukan ilmu pengetahuan di mata masyrakat. Menurutnya dalam masyarakat dewasa ini ilmu pengetahuan menduduki tempat yang sama dengan posisi agama sama pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak untuk memilih, Feyerabend amat menekankan kebebasan individu dan terhadap ilmu pengetahuan dengan menyingkirkan segala belenggu metodologis. Konsekuensinya adalah bahwa ia menolak superioritas ilmu pengetahuan dan menolak sikap otoriter suatu tatanan. Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada anggapan bahwa ilmu atau teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Menurut Feyerabend makna dan interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoritis.

DAFTAR PUSTAKA

M, Abdullah, Amin, 2002, Epistemologi Ilmu Agama Islam Dalam Khasanah
Perkembangan Epistemologi Ilmu Pengetahuan Modern, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Kuhn, Thomas S, 1962, The Structure of Scientific Revolustions, terjemahan oleh Tjun Suryaman menjadi : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, penyunting Lili Rasjidi, Cetakan ke-4, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kattsoff, Louis O., 1996, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Sumargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muhadjir, Noeng, 2001, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Edisi II, Yogyakarta: Reka Sarasin.
Nunu, Heryanto, 2002, Pentingya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan, Suatu Tinjauan Filsafat Sains), Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar